Makna akhlak
Posted on Sunday, April 02 @ 15:36:13 MYT by paktam
Oleh DR HAMID FAHMY ZARKASYI
“IT’S better to be moralist rather than religious” Lebih baik moralis daripada religious. Itulah salah satu cara orang liberal-sekuler-humanis membunuh agama. Di Barat sana agama memang pernah menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Di sini, di negerinegeri Islam tidak. Tapi untuk boleh diberi cap yang sama, agama direkayasa agar melakukan kekerasan. Ini misinya.
Caranya agama dihancurkan dari konsep dasarnya. Salah satunya adalah makna akhlak.
Yang sekular berupaya mensekularkan maknanya. Maka berakhlaq itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka “Muslim tidak perlu berakhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia.”
Masalahnya apa bedanya moral dan akhlak serta apa pula makna karakter dan etika itu. Akhlak adalah kata jamak dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan).
Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim).
Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah- Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka berakhlak adalah berpikir, berkehendak dan berperilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.
Lalu mengapa manusia melawan fitrahnya? Kerana kerja orang tua. Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan fitrah anaknya.
Hadis Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Quran. Ibn Taimiyyah menyebutnya fitrah munazzalah. Dengan al-Quran fitrah manusia akan berkembang sempurna.
Fitrah manusia yang berkembang mengikuti al-Quran adalah Nabi Muhammad. Kerana itulah maka peribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika.
Nafasnya adalah zikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana.
Itulah makna kesimpulan Aisyah bahawa akhlak Nabi adalah al-Quran (Khuluquhu al-Quran).
Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al- Quran.
Bagaimana al-Quran bisa menjadi akhlak, bisa dijelaskan.
Fakhruddin al-Razi. Misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa al- Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Di dalamnya terdapat 32 pasal tentang akhlak dan penyembuhan penyakitnya.
Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan.
Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua adalah mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).
Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al- Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlak. Makna akhlak dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs, qalb dan cara kerjanya.
Berbeda dari akhlak, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain diartikan sebagai perilaku baikburuk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral.
Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “etos.” Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention).
Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar.
Jadi bermoral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat ilahi dan religious.
Orang berakhlak dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu berakhlak. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan sebagainya. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak berakhlaq jika ia seorang lesbi/ homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa dianggap bermoral tinggi. Tapi jika ia adalah pengusaha dadah atau pelacuran, atau pemberi pinjam wang haram ia tidak berakhlaq.
Kini akhlak juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Character diertikan sebagai ciri yang membedakan seseorang kerana kekuatan moral atau reputasi. Tapi character juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan.
Berkarakter baik boleh diertikan sebagai “berperanan” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.
Maka berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Pada masa lalu, misalnya, terdapat seorang gabenor yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber pendapatan. Siapapun menentangnya akan dicemuh. Ia berkarakter tapi tidak berakhlaq.
Begitulah Muslim boleh bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti berakhlaq.
Tapi jika makna berakhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna moral. Berakhlaq yang sempit hanya berpedoman halalharam atau wajib-sunnah.
Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antara manusia (mu’amalah ma’annas).
Ibadahnya sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayat-Nya.
Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orangorang dibawahnya. Inilah makna berakhlak yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus skandal takhta, harta dan wanita.
Sebaliknya, bagi Muslim sekular-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah ditinggalkan. Standard baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia.
Akibatnya, meniru akhlak Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata.
Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti hak asasi manusia. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya.
Begitulah, kerana sekularisme, liberalisme dan humanisme maka beragama menjadi tidak mudah, apalagi berakhlaq. Padahal Francis *****uyama mengingatkan bahawa ketahanan suatu bangsa tergantung pada keberagamaan masyarakat dan etikanya.
Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlak. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan “Bangsa-bangsa akan kekal jika masih berakhlaq. Jika hilang akhlaknya maka hilang pula bangsa itu.”
Al-Quran lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertakwa maka akan diturunkan berkat dari langit, dan jika tidak lagi berakhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah.
Jadi sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan ketenteraan. Tapi oleh upaya penghancuran moral dan bahkan akhlak pemimpinnya, anak mudanya, anggota parlimennya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya dan sebagainya.
Posted on Sunday, April 02 @ 15:36:13 MYT by paktam
Oleh DR HAMID FAHMY ZARKASYI
“IT’S better to be moralist rather than religious” Lebih baik moralis daripada religious. Itulah salah satu cara orang liberal-sekuler-humanis membunuh agama. Di Barat sana agama memang pernah menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Di sini, di negerinegeri Islam tidak. Tapi untuk boleh diberi cap yang sama, agama direkayasa agar melakukan kekerasan. Ini misinya.
Caranya agama dihancurkan dari konsep dasarnya. Salah satunya adalah makna akhlak.
Yang sekular berupaya mensekularkan maknanya. Maka berakhlaq itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka “Muslim tidak perlu berakhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia.”
Masalahnya apa bedanya moral dan akhlak serta apa pula makna karakter dan etika itu. Akhlak adalah kata jamak dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan).
Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim).
Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah- Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka berakhlak adalah berpikir, berkehendak dan berperilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.
Lalu mengapa manusia melawan fitrahnya? Kerana kerja orang tua. Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan fitrah anaknya.
Hadis Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Quran. Ibn Taimiyyah menyebutnya fitrah munazzalah. Dengan al-Quran fitrah manusia akan berkembang sempurna.
Fitrah manusia yang berkembang mengikuti al-Quran adalah Nabi Muhammad. Kerana itulah maka peribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika.
Nafasnya adalah zikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana.
Itulah makna kesimpulan Aisyah bahawa akhlak Nabi adalah al-Quran (Khuluquhu al-Quran).
Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al- Quran.
Bagaimana al-Quran bisa menjadi akhlak, bisa dijelaskan.
Fakhruddin al-Razi. Misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa al- Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Di dalamnya terdapat 32 pasal tentang akhlak dan penyembuhan penyakitnya.
Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan.
Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua adalah mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).
Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al- Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlak. Makna akhlak dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs, qalb dan cara kerjanya.
Berbeda dari akhlak, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain diartikan sebagai perilaku baikburuk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral.
Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “etos.” Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention).
Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar.
Jadi bermoral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat ilahi dan religious.
Orang berakhlak dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu berakhlak. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan sebagainya. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak berakhlaq jika ia seorang lesbi/ homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa dianggap bermoral tinggi. Tapi jika ia adalah pengusaha dadah atau pelacuran, atau pemberi pinjam wang haram ia tidak berakhlaq.
Kini akhlak juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Character diertikan sebagai ciri yang membedakan seseorang kerana kekuatan moral atau reputasi. Tapi character juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan.
Berkarakter baik boleh diertikan sebagai “berperanan” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.
Maka berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Pada masa lalu, misalnya, terdapat seorang gabenor yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber pendapatan. Siapapun menentangnya akan dicemuh. Ia berkarakter tapi tidak berakhlaq.
Begitulah Muslim boleh bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti berakhlaq.
Tapi jika makna berakhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna moral. Berakhlaq yang sempit hanya berpedoman halalharam atau wajib-sunnah.
Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antara manusia (mu’amalah ma’annas).
Ibadahnya sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayat-Nya.
Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orangorang dibawahnya. Inilah makna berakhlak yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus skandal takhta, harta dan wanita.
Sebaliknya, bagi Muslim sekular-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah ditinggalkan. Standard baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia.
Akibatnya, meniru akhlak Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata.
Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti hak asasi manusia. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya.
Begitulah, kerana sekularisme, liberalisme dan humanisme maka beragama menjadi tidak mudah, apalagi berakhlaq. Padahal Francis *****uyama mengingatkan bahawa ketahanan suatu bangsa tergantung pada keberagamaan masyarakat dan etikanya.
Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlak. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan “Bangsa-bangsa akan kekal jika masih berakhlaq. Jika hilang akhlaknya maka hilang pula bangsa itu.”
Al-Quran lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertakwa maka akan diturunkan berkat dari langit, dan jika tidak lagi berakhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah.
Jadi sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan ketenteraan. Tapi oleh upaya penghancuran moral dan bahkan akhlak pemimpinnya, anak mudanya, anggota parlimennya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya dan sebagainya.
Terbaek..
ReplyDelete